Fenomena One Piece dan Cermin Bangsa
Fenomena One Piece di Indonesia bukan sekadar kisah bajak laut yang menghibur, tetapi juga cermin perjalanan bangsa. Luffy dan krunya berlayar dengan satu tujuan: mencari harta karun, memperjuangkan kebebasan, dan melindungi kru dari ketidakadilan. Ironisnya, di dunia nyata, rakyat Indonesia merasa menjadi “awak kapal” yang kehilangan arah dan kompas kepercayaan pada nakhoda bernama pemerintah. Ketidakpercayaan ini bukan lagi sekadar gosip di warung kopi, melainkan fakta yang terkonfirmasi dalam survei, di mana tren menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dan penegakan hukum terus terjadi.
Kapal Kepercayaan yang Bocor
Korupsi menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh. Dalam dua tahun terakhir, Indonesia dikejutkan oleh rangkaian kasus mega korupsi yang mencengangkan publik. Pertama, skandal tata niaga minyak di PT Pertamina sepanjang 2018–2023 diperkirakan menimbulkan kerugian negara hingga sekitar Rp 193,7 triliun pada 2023 saja, dan total potensi kerugian selama lima tahun mendekati Rp 968,5 triliun Belum lagi, munculnya kasus pengadaan Chromebook oleh Kemendikbudristek senilai Rp 9,9 triliun, yang sedang diselidiki karena diduga dipaksakan meski uji coba mengindikasikan ketidakefektifan perangkat tersebut, publik sudah lelah mendengar kasus demi kasus yang ujungnya hanya menghasilkan Amnesti, Abolisi, hukuman ringan dan remisi yang menggiurkan. Padahal, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jelas mengatur sanksi berat, namun implementasinya longgar. Dalam penegakan hukum, rakyat disuguhi drama tebang pilih. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjamin kebebasan peradilan dari intervensi, namun realitasnya, pejabat korup bisa mendapatkan keringanan hukuman, sementara rakyat kecil mendekam di penjara untuk perkara sepele.
Ombak Kekecewaan yang Mendidih
Rasa kecewa masyarakat terhadap penegak hukum di Indonesia kian memuncak seiring dengan banyaknya kasus yang berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Dalam beberapa tahun terakhir, rakyat makin terhenyak oleh ulah aparat yang seharusnya melindungi, tetapi justru melukai dan mengkhianati kepercayaan publik. Pada akhir November 2024 di Semarang, seorang oknum polisi menembak pelajar SMK berusia 16 tahun yang dikenal anggota paskibraka, hanya karena diduga secara keliru sebagai pelaku tawuran korban tidak tertolong, dan masyarakat menuntut pengusutan transparan karena kekerasan senjata api yang berlebihan diketahuilah berasal dari arogansi aparat. Di sisi lain, publik juga masih terguncang oleh pembunuhan Brigadir J, yang dilakukan atas perintah Irjen Ferdy Sambo, mantan petinggi Divisi Propam Polri dengan rekayasa baku tembak yang dirancang semata untuk menutupi pembunuhan berencana. Sambo akhirnya terbukti bersalah, divonis hukuman mati, kemudian diubah menjadi penjara seumur hidup . Selain itu, meski tidak ada bukti resmi, kisah aparat yang 'berebut' wanita penghibur representasi kultur kekuasaan yang kacau dan tidak profesional sering mencuat sebagai simbol buruknya etika internal kepolisian. Semua kejadian ini semakin mengikis kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum, menuntut reformasi nyata, bukan sekadar retorika prosedural. Kejadian-kejadian seperti ini secara perlahan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, yang sejatinya diamanatkan oleh konstitusi untuk melindungi dan mengayomi masyarakat.
Susahnya Lapangan Kerja dan Pajak yang semakin mencekik
Krisis lapangan kerja semakin memperkeruh suasana. Meski angka pengangguran secara statistik menurun, banyak lulusan perguruan tinggi berakhir menjadi kurir, driver ojek online, atau pekerja tanpa jaminan sosial. BPS mencatat 7 juta lebih penduduk Indonesia dalam posisi pengangguran sungguh sebuah data yang sangat miris. Dilain cerita banyaknya sektor usaha yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah masive tidak baik baik saja, misalkan sektor transportasi online yang tidak adil dalam pemotongan dan besarnya angka PHK di indonesia. Sistem pajak pun tak luput dari sorotan. UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memang bertujuan menyederhanakan aturan, namun praktiknya sering membingungkan. Bahkan antar petugas pajak bisa berbeda tafsir dalam menghitung bea masuk, yang pada akhirnya membuat pelaku UMKM kewalahan. Kekecewaan rakyat kini mudah terlihat. Unjuk rasa di jalan, sindiran pedas di media sosial, hingga karya seni satir menjadi saluran ekspresi. Namun, seperti kapal yang berputar-putar di tengah badai, kemarahan ini tidak akan membawa perubahan jika tidak diarahkan pada solusi struktural. Tanpa pembenahan sistem, ketidakpercayaan ini hanya akan semakin mengakar dan menenggelamkan keinginan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Sulitnya Menggali Berita dan Data Faktual
Dalam kondisi sosial-politik saat ini, masyarakat dihadapkan pada tantangan besar dalam mendapatkan informasi yang benar dan dapat dipercaya. Arus berita di media massa maupun media sosial sering kali bercampur antara fakta, opini, hoaks, hingga konten provokatif yang sengaja dibuat untuk menggiring persepsi publik. Situasi ini membuat banyak orang kesulitan membedakan informasi yang valid dengan narasi yang dimanipulasi. Minimnya literasi media, ditambah lemahnya pengawasan terhadap penyebaran berita palsu, membuka ruang bagi aktor tertentu untuk memanfaatkan kebingungan masyarakat demi kepentingan politik atau ekonomi. Akibatnya, kepercayaan publik pada media ikut menurun, dan ruang diskusi yang sehat semakin tergerus oleh polarisasi dan sentimen emosional.
Solusi Alternatif
Langkah pertama yang bisa diambil adalah membentuk lembaga pengawas independen untuk aparat dan penegak hukum. Lembaga ini harus benar-benar bebas dari intervensi politik, memiliki kewenangan menindaklanjuti laporan kinerja, dugaan pelanggaran pidana dan perdata, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran etik di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, TNI serta ASN. dengan lembaga pengawas independen yang melibatkan seluruh insan pemerintahan akan sedikit sedikit memperbaiki kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap bukan hanya tingkat korupsi, namun kinerja dan abuse of power aparat patut menjadi perhatian.
Langkah kedua adalah menciptakan lapangan kerja produktif melalui program padat karya berbasis kelompok mikro dengan gaji setara PNS. Pemerintah dapat memanfaatkan skema Dana Desa (UU No. 6 Tahun 2014) dan APBN. Indonesia sebenarnya memiliki modal kelembagaan yang dapat mendukung program penciptaan lapangan kerja produktif berbasis desa. Keberadaan Danantara, BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), koperasi desa, dan lembaga pangan seperti BULOG merupakan infrastruktur ekonomi yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Melalui sinergi dengan pemerintah daerah dan kementerian terkait, kelompok kerja kecil beranggotakan 3–4 orang dapat diberi proyek konkret seperti penggemukan ternak, budidaya ikan keramba, hingga pengembangan tanaman pangan dan hortikultura. Sistem ini tidak hanya membuka lapangan kerja bergaji setara PNS di daerah, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan nasional. Lebih jauh, mekanisme ini dapat secara langsung mendukung program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis untuk pelajar, sambil memperkuat kapasitas Indonesia sebagai negara mandiri pangan dan mengurangi ketergantungan pada impor bahan pokok. Pemerintah melalui Danantara dapat juga mengambil alih transportasi online dan menyelamatkan kesejahteraan mitra pengemudi dengan menjadikan karyawan tetap, ngena mengambil alih transportasi online pemerintah dapat menyelesaikan sua masalah besar yaitu penurunan tingkat pengangguran, dan menyelesaikan masalah transportasi umum.
Langkah ketiga adalah mereformasi sistem pajak menjadi model prabayar yang transparan. Untuk UMKM dan perdagangan impor-ekspor, pajak dapat berbasis saldo prabayar yang otomatis terpotong saat transaksi. Jika saldo habis, sistem OSS (Online Single Submission) menghentikan izin operasional sementara hingga pajak dibayar. Mekanisme ini meminimalkan manipulasi dan mempermudah administrasi.
Langkah keempat adalah memperketat pengelolaan informasi publik dan media sosial. UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE perlu diperkuat untuk memastikan setiap akun yang memproduksi konten publik dapat dilacak identitasnya secara legal. Dengan begitu, publik dapat membedakan fakta, opini, dan hoaks, serta mengurangi penyebaran informasi palsu yang memperburuk situasi sosial-politik.
Menuju “One Piece” Indonesia
Dalam kisah One Piece, setiap kru memiliki peran vital, dan sang kapten bertanggung jawab penuh atas keselamatan serta tujuan bersama. Indonesia pun membutuhkan “kapten” yang berani mengarahkan kapal melawan badai korupsi, hukum yang timpang, pengangguran, dan birokrasi membingungkan. Harta karun yang kita cari bukanlah emas atau permata, melainkan kepercayaan rakyat. Kepercayaan itu hanya dapat diraih jika pemerintah mau mengakui kelemahan, menjalankan kebijakan yang berpihak, dan melibatkan rakyat sebagai kru sejati kapal bangsa. @deddyrus@gmail.com